KAJIAN MAKAM TOLOBALI DENGAN MAPPING TEORI
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tiga wujud kebudayaan Dalam ilmu
antropologi terdapat yaitu ide, aktivitas dan artefak. Wujud artefak kebudayaan
sangat erat hubungannya dengan dunia kesenian. Artefak kebudayaan manusia pada
masing-masing era atau periode tentu berbeda-beda. Kebudayaan manusia pada masa
prasejarah menghasilkan karya seni di dinding-dinding gua, kebudayaan manusia
pada periode Hindu-Budha menghasilkan candi dan ornamennya, kebudayaan Islam
adalah Makam dan ornamennya dan sampai pada masa modern yang menghasilkan
karya-karya seni lukis kanfas.
Dalam beberapa artefak kebudayaaan
tersebut, Penulis ingin mengkaji mengenai artefak pada masa kebudayaan Islam
yaitu mengenai makam dan ornamennya pada khususnya yang terdapat pada makam Sultan
Bima di Tolobali. Dari sisi wujud kebudayaan, artefak tersebut merupakan bukti
otentik dari idea dengan sistem kepercayaan masyarakat Bima pada masa itu. Makam
Sultan atau Raja dengan makam masyarakat biasa sangat berbeda dalam bentuk
maupun struktur serta hiasan-hiasan atau ornamen yang diterapkan dalam makamnya.
Dalam mengkaji permasalah yang berkaitan
dengan artefak seni ini, terlebih dahulu harus mengetahui dasar-dasar teori
untuk mengkaji obyek permasalahan tersebut, sehingga bisa mengetahui lebih banyak
tentang satu obyek penelitian tersebut dari berbagai sisi teori. Kajian dengan
mapping teori berfungsi melihat obyek penelitian tersebut dari berbagai sisi. Satu
obyek penelitian yaitu makam dan ornamennya dikaji dengan beberapa teori dan
kemudian mengetahui hasil kajian obyek penelitian tersebut dari berbagai sisi
sesuai dengan teori yang dikaji.
Untuk memperoleh hasil kajian mengenai
makam dan ornamennya ini, maka akan dikaji dengan menggunakan beberapa sudut
pandang teori yaitu teori mimetic yang dikemukakan oleh Plato dan Aristoteles, teori
ekspresi yang dikemukakan oleh Suzanne K. Langer, teori obyektif (bentuk dan
struktur) oleh Levi Strauss dan teori pragmatis (structural-fungsional) oleh
Talcott Parson.
B. RUMUSAN
MASALAH
Dalam penulisan
ini, penulis ingin mengkaji
Bagaimanakah makam beserta
ornamennya tersebut dikaji dengan teori
mimesis, ekspresi, obyektif dan pragmatis?, bagaimana hubungan keempat teori
tersebut yang tercermin dari makam beserta ornamennya?.
C. TUJUAN
Hal yang menjadi
tujuan pengkajian ini adalah Untuk menjelaskan secara deskriptif mengenai
artefak makam dan ornamen sultan ini dengan pendekatan teori mimesis, ekspresi,
obyektif dan pragmatis sehingga bisa mengetahui berbagai sisi dari makam
tersebut.
BAB II PEMBAHASAN
A. FENOMENA
KEBUDAYAAN
Makam
tua Tolobali merupakan artefak dari kebudayaan Islam di Bima. Kompleks Makam
tua tolobali adalah makam Sultan Bima dan Ulama yang berpengaruh pada masa Kesultanan
Bima. Sultan dan ulama yang dimakamkan pada kompleks makam tersebut adalah a). Makam Sultan
Abil Khair Sirajudin / I Ambela (Raja Bima
Ke II, 1640- 1682 M), meninggal pada
tanggal 17 Rajab 1091 H (22 Juli 1682 M), b). Sultan Nuruddin Abubakar Ali
Syah/ Mapparabung Nuruddin Daeng Matalli Karaeng Panarageng (Raja Bima Ke III, 1682-1687), c). Syekh Umar
Al Bantami / Syekh Umar Al Bamaksum (Ulama keturunan Arab yang telah lama
menetap di Banten) dan d). Makam Sultan Jamaluddin / Alasa Djamaluddin Ma Wa’a
Romo (Raja Bima ke IV, 1687-1696).
Makam-makam
sultan dan ulama tersebut dibuat megah dan dipadukan dengan ornamen yang indah,
sehingga membedakannya dengan makam-makam disekitarnya. Penulis mengambil makam
sultan nuruddin sebagai sampelnya. Struktur makam tersebut, terdiri dari
cungkup (kubah, dinding, pintu dan pilar), dan nisan. Pintu cungkup makam
berada disebelah selatan dan dibuat sempit sehingga kita harus tunduk ketika
ingin masuk berziarah. Nisan makam berbentuk gada dengan segi delapan. Berikut
foto dan gambar ilustrasi makam
Gambar
1 : Foto cungkup makam
Gambar 2: Gambar ilustrasi cungkup makam tampak depan dan atas
Gambar 3: Foto dan gambar ilustrasi nisan tampak
depan dan atas
Gambar 4: Observasi
Bagian
makam tidak diterapkan ornamen yang menggambarkan hewan dan manusia atau
mahkluk hidup, yang ada adalah Ornamen-ornamen geometris dan floral
(tumbuh-tumbuhan) yang sudah digubah dan distilir bahkan sudah dipadukan
keduanya sehingga tidak menyerupai bentuk asli dari tumbuh-tumbuhan. Penerapan
ornamen terdapat pada nisan dan pada cungkup makam. Pada bagian cungkup itu
sendiri diterapkan ornamen pada bagian puncak cungkup, dinding, pilar dan
pintu.
B. KEBUDAYAAN
HUBUNGAN DENGAN TEORI MIMESIS
1.
Plato
Menurut
pandangan Plato, mimesis merupakan tiruan dari alam. Begitupun dengan seni,
seorang seniman hanya bisa meniru apa yang ada di sekelilingnya. Wujud yang
sebenarnya adalah ada pada alam ide. Dia memberikan contoh mengenai seorang seniman dengan pembuat kursi. Seniman
hanya bisa melukiskan kursi tapi tidak bisa membuat kursi, sehingga dia pun
menganggap rendah seniman. Seni hanyalah sebagai tiruan dan yang indah itu ada
dalam alam ide.
2.
Aristoteles
Menurut
pandangan aristoteles, mimesis adalah tiruan terhadap alam, dia memandang
bahwa, dalam meniru haruslah melakukan perenungan tentang kompleksitas dari
kenyataan alam tersebut. Dia memandang ada dua hal penting dalam meniru yaitu
meniru bentuk dan wujud visual dari alam yang diekspresikan dengan menggambar
dan diwujudkan dengan ekspresi nyanyian atau bunyi.
C. TEORI
EKSPRESI
Suzanne K. Langer
memandang bahwa ekspresi merupakan penciptaan wujud dengan berbagai
symbol-simbol. Prinsip karya seni dengan konsepnya yang disebut sebagai living form dan ekspressive (Hadi, 2006:
54). Kesimpulan dari pernyataan tersebut bahwa dalam wujud symbol, ekspresi
merupakan bentuk yang utuh yang bukan hanya memberi makna tetapi juga memberi
pesan.
D. TEORI
OBYEKTIF (Bentuk dan Struktur)
Levi
Strauss
Dalam
pendekatan antropologi melalui teori Levi Strauss terdapat beberapa hal yang
menjadi dasar dari teori strukturalisnya (Heddy, 2009: 61-63). Hal-hal tersebut
adalah
1. Upacara-upacara,
system-sistem kekerabatan dan perkawinan, pola tempat tinggal, pakaian dan
sebagainya, secara formal semuanya dapat dikatakan sebagai bahasa-bahasa
2. Dalam
diri setiap manusia terdapat kemampuan dasar yang diwariskan secara genetis
oleh keluarganya sehingga kemampuan ini ada pada semua manusia yang normal
yaitu menyususun suatu struktur, atau menempelkan suatu struktur tertentu pada
gejala-gejala yang dihadapi oleh dirinya.
3. Relasi-relasi
suatu fenomena budaya dengan fenomena-fenomena yang lain pada titik waktu
tertentu inilah yang menentukan makna fenomena tersebut.
4. Relasi-relasi
yang ada pada struktur dalam dapat disederhanakan lagi menjadi oposisi
berpasangan.
E. TEORI
PRAGMATIS ( Structural-Fungsional)
Talcott
Parson
Pemikiran Talcott Parson sangat dipengaruhi
oleh Durkheim.Durkheim memandang bahwa masyarakat sebagai system (http://id.wikipedia.org/). Masyarakat adalah kesatuan dari
bagian-bagian yang berbeda. Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi
masing – masing yang membuat sistem menjadi seimbang. Bagian tersebut saling
interdependensi satu sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak
berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem. Pemikiran inilah yang menjadi
sumbangsih Durkheim dalam teori Parsons dan Merton mengenai struktural
fungsional.
Talcott Parson membagi empat fungsi
primer yang dapat dirangkaikan dengan system hidup yaitu adaptasi, system
kepribadian memenuhi kebutuhan pencapaian tujuan, integrasi dan mempertahankan
pol-pola dalam system. Adaptasi sebagai wujud kongkritnya adalah ilmu
pengetahuan. Pencapaian tujuan sebagai wujud kongkritnya adalah perbuatan
ekspresif dalam karya seni dan komunikasi simbolik. Integrasi sebagai wujud
ketentuan norma dan etika yang berlaku. Pola dan system sebagai wujud
kongkritnya adalah dasar dan inti perilaku keagamaan (Hadi, 2006: 52).
F. MAPPING
TEORI TERHADAP FENOMENA KEBUDAYAAN
Tahapan
ini merupakan tahap mengkaji fenomena
kebudayaan lewat teori-teori yang dipaparkan sebelumnya yaitu teori mimesis,
teori ekspresif, teori obyektif dan teori pragmatis.
Dalam
kajian makam ini, jika dikaitkan dengan teori mimesis maka ornamen tadi
merupakan tiruan dari bentuk visual tumbuhan dari alam yang diwujudkan dengan
ukiran. Tiruan tersebut adalah bagian-bagian dari tumbuhan seperti bunga,
tumbuhan yang merambat dan pucuk rebung yang diukir dengan kreasi masyarakat
pada saat itu.
Ornamen hadir
ditengah kehidupan masyarakat sebagai media ungkapan perasaan yang diwujudkan
dalam bentuk visual yang proses penciptaannya tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh lingkungan. Dalam ornamen
itu terdapat pula makna simbolik tertentu menurut apa yang berlaku sah secara
konvensional di lingkungan masyarakat
pendukung (Soegeng Toekio M, 1987: 9). Ornamen sebagai kajian teori ekspresi
merupakan kreasi manusia dalam menggambarkan system kebudayaan yang ada pada
saat itu, dalam teori ekspresi ini ornamen yang diukir pada makam tersebut
merupakan symbol yang memberikan makna dan pesan kepada masyarakat Bima.
Sebagai contoh motif bunga samobo (sekuntum
bunga) sebagai ekspresi yang menyimbolkan kepercayaan yang satu terhadap tuhan. Motif Kakando (rebung) sebagai wujud ekspresi hubungan antara manusia dengan sang
pencipta. Motif Pado Waji (belah
ketupat) sebagai wujud ekspresi kepercayaan masyarakat bima bahwa manusia mengaku kebesaran tuhan yang menyelimuti alam
semesta ini dan juga mengaku kebesaran sultan sebagai pemimpin dibumi (ulil amri).
Teori
obyektif dalam fenomena kebudayaan yang berkaitan dengan kemampuan manusia
untuk menyusun dan membuat relasi antara kebudayaan yang baru dengan yang lain seperti
yang dipaparkan oleh levi strauss adalah tercermin dari motif tumbuhan yang terdapat
pada makam tersebut yang lebih kepada kemampuan ide masyarakat dengan
memberikan makna pada bentuk struktur makam serta ornamen makam lewat ekspresi
kreasi pembuatan bentuk struktur makam dan ornamennya, sehingga makna tersebut
berlaku pada masyarakat bima. Selain itu adalah kemampuan alamiah manusia untuk
memilih obyek yang ada disekitarnya yang mempunyai sifat yang sama dengan apa
yang ingin dia ungkapkan, serta kemampuan
masyarakat Bima menstilirisasi atau menggubah bentuk asli dari bentuk floral
sehingga tidak meyerupai bentuk floral pada aslinya dan kemampuannya memadukan
bentuk geometris dengan bentuk floral.
Makam
pada umumnya berfungsi sebagai tempat menguburkan manusia sesuai dengan aturan
agama islam. Jika fenomena kebudayaan ini dikaitkan dengan teori pragmatis, maka
pendekatannya lebih kepada empat system hidup yang dipaparkan oleh Talcott
Parson sebelumnya yaitu
1. Adaptasi
sebagai wujud kongkritnya adalah ilmu pengetahuan, maka dalam kaitannya dengan
makam beserta ornamennya adalah sikap adaptasi terhadap kebudayaan Islam yang
berpengaruh pada saat itu, sehingga bentuk-bentuk ornamen digubah dan di stilir
karena dalam ajaran islam tidak diperbolehkan menggambar atau membentuk makhluk
hidup.
2. Pencapaian
tujuan yang wujudnya adalah perbuatan ekspresif dalam karya seni dan komunikasi
simbolik terdapat pada makna bentuk struktur makam dan oranmennya yang memberikan
pesan makna lewat alasan pintu cungkup makam dibuat pada bagian selatan dan
sempit, serta makna oranamen-ornamennya.
3. Integrasi
sebagai wujud ketentuan norma dan etika yang berlaku, terdapat pada norma
masyarakat bima dalam memperlakukan rajanya sebagai pemimpin dan pelindung
dalam kehidupannya, dengan membuat makam dengan struktur yang sangat
mencerminkan norma masyarakat Bima. Mulai dari bentuk struktur makam yang megah
dan dihiasi banyak ornamen sebagai symbol keagungan masyarakat terhadap
sultannya. Serta alasan mengapa pintu
makam itu dibuat pada bagian selatan tepat bagian kaki makam dan dibuat sempit,
itu mencerminkan sebagai nilai kesopanan masyarakat Bima yaitu ketundukan dan
kepatuhan masyarakat bima terhadap sultan. Pintu yang dibuat pada bagian
selatan agar ketika sesorang masuk dalam cungkup makam, diposisikan berhadapan
dengan sultan. Pintu yang sempit
difungsikan agar kita menunduk ketika masuk didalamnya (Ketika harus bertemu
dan berhadapan dengan seorang sultan, harus menghormatinya dengan membungkuk
tepat didepannya).
4. Pola
dan system sebagai wujud kongkritnya adalah dasar dan inti perilaku keagamaan
terdapat pada fungsi utama dari makam itu sendiri sebagai tempat mengubur
manusia sesuai dengan ketentuan yang ada pada ajaran agama Islam, dan pada
pengambilan obyek tumbuh-tumbuhan serta bentuk-bentuk geometris dalam pembuatan
ornamen, distilir sedemikian rupa agar tidak menyerupai bentuk aslinya, karena
islam melarang penggambaran atau membuat bentuk yang menyerupai makhluk hidup.
BAB III KESIMPULAN
Kajian mengenai makam dan ornamen
dengan beberapa teori memperkaya pandangan terhadap makam dan ornamennya
khususnya pada makam Sultan Bima. Hasil kajian dengan teori-teori ini
mengungkap bahwa ornamen yang ada dalam makam tersebut adalah merupakan tiruan
dari alam yang dikspresikan melalui ukiran terhadap cungkup maupun nisan makam
dengan makna dan pesan, dari makna dan pesan tersebut memberikan pengetahuan
mengenai kemampuan masyarakat bima dalam mengungkapkan pesan maupun makna lewat
bentuk struktur makam dan ornamen yang diterapkan. Dari ide-ide pemberian makna,
bisa diketahui mengenai noma-norma yang berlaku pada masyarakat bima, bagaimana
cara memperlakukan raja dan bagaimana system kepercayaan masyarakat pada saat.
Mapping
teori tadi menghasilkan pandangan bahwa ornamen-ornamen yang diterapkan pada
makam kesultanan bima adalah merupakan tiruan dari alam yaitu bunga samobo
(sekuntum bunga) dan kakando (rebung). Sikap ekspresif masyarakat bima dalam
membuat ornamen-ornamen tersebut sebagai symbol untuk memaparkan makna dan
pesan. Sekuntum bunga dimaknai sebagai kepercayaan terhadap keesaan tuhan,
rebung dimaknai sebagai hubungan manusia dengan tuhan, belah ketupat dimaknai
sebagai pengakuan diri terhadap kekuasaan tuhan dan kekusaan sultan sebagai
pemimpinnya.
Sikap
kemampuan manusia dalam membentuk kebudayaan adalah dari kemapuan masyarakat
bima membuat bentuk dan struktur makam dengan berbagai makna dan memilih
obyek-obyek sekitarnya untuk mengungkapkan pesan makna tadi, sehingga makna
tersebut berlaku bagi masyarakat bima. Structural fungsional untuk mengetahui
adaptasi masyarakat bima dalam menstilir bentuk asli bunga dalam adaptasinya
terhadap agama islam yang melarang penggambaran makhluk hidup. Tujuan komunikasi
yang dibangun adalah terdapat pada makna-makna motif serta bentuk struktur
makam. Integrasi dicerminkan mengenai norma dan adat masyarakat bima dalam
menghormati seorang raja yaitu dengan pembuatan makam yang megah, dan sikap
menunduk ketika bertemu dengannya sebagai norma, sikap dan cara masyarakat bima
ketika bertemu dan berhadapan dengan seorang sultan. Serta pola dan system agama
pada masyarakat bima dengan menggunakan motif yang digubah dan distilir untuk penerapan
ornamennya sehingga motif-motif yang diterapkan tidak mencerminkan makhluk
hidup seutuhnya.
Daftar
pustaka
Ahimsa, Heddy Schari. 2005. Strukturalisme Levi-Straussdalam Mitos dan Sastra. Yogyakarta:
Kapel Press
Hadi,
Y. Sumandiyo. 2006. Seni dalam Ritual
Agama.Yogyakarta: Pustaka
Toekio,
Soegeng M. 1987. Mengenal Ragam Hias Indonesia. Bandung : Angkasa