Street art sebagai Wujud Ekspresi
Diri
Oleh: Miftahul Khairi
Apakah sebenarnya street art
itu?.
Mungkin kita memperhatikan karya street art hanya sepintas,
mengabaikannya, mencacinya karena mengotori tembok atau bahkan dinding rumah
kita, atau bahkan mungkin tidak memperhatikan sama sekali karya seni tersebut.
Street
art yang sering dikenal dengan graffiti atau
mural merupakan karya seni yang perlu untuk diapresiasi. Kita tentu sering
melihat tembok-tembok dibeberapa jalan di Kota Yogyakarta yang selalu dicorat
coret dan bahkan digambar. Apakah itu sebagai aksi vandalisme?, kritik sosial?,
bentuk protes terhadap pemerintah?, ataukah wujud penyataan diri sebuah
komunitas atau seniman? Ataukah seperti apa?.jawabannya mungkin semuanya IYA,
tergantung dari sisi mana kita melihatnya. Tapi yang jelas, secara sadar
ataupun tidak sadar dalam coretan ataupun gambar, ada suatu makna yang
terkandung di dalamnya.
Di kota istimewa ini fenomena seperti itu
bukanlah lagi hal yang baru bagi kita, apalagi dikalangan pecinta seni. Terlebih
lagi kota Yogyakarta dengan ikonnya sebagai kota pendidikan khususnya seni di
Indonesia, sehingga itu bukanlah lagi hal yang biasa. Tapi pernahkah kita
berpikir bahwa siapakah yang mempunyai coretan itu ?. Hal yang sangat sepele
tapi perlu untuk direnungkan kembali.
Mengmati mural di jalanan, berebda dengan
lukisan yang terpampang ekslusif di dalam galeri atau musem. Mungkin ketika
kita melihat mural, kita tentu sulit untuk mengetahui siapa pemilik karya ini.
Berbeda dengan karya lukis yang biasanya ekslusif. Dia ditempatkan di galeri
atau museum, dilengkapi dengan catalog sehingga para pengunjung bisa melihat
dan bisa mengetahui siapa seniman yang melukis ini.
Di kota Yogyakarta sendiri, banyak komunitas
graffiti dan mural yang eksis dan tidak asing bagi kita seperti Ketjil Bergerak,
Art Prek, JKOK, Apotik Komik dan lain-lain. semua komunitas ini tentunya
mempunyai tujuan yang berbeda-beda dalam mengaplikasikan graffiti atau mural di
ruang publik entah itu sebagai bentuk protes atau wujud eksistensi diri dan
bahkan aksi vandalisme. Anggapan itu sah sah saja bagi para pengamat seni.
Bebicara mengenai tujuan berkesenian, pernahkan
anda berpikir jika ada komunitas mural dan graffiti yang tour setiap kota untuk
membuat mural?. Sebenarnya apakah tujuan mereka?. Tapi yang jelas, mereka
meberikan warna tersendiri dalam dunia seni rupa
Begundal rupa, itulah nama komunitas mural
dari kota Padang Sumatra barat. Komunitas ini melakukan tour dari kota ke kota.
Rute tour mereka adalah dari kota ke kota dimulai dari kota-kota yang berada di
Sumatra kemudian dilanjutkan ke kota-kota di Jawa dan berkhir di Bali. Tour mural keliling kota ini dilakukan oleh
dua orang orang dari komunitas ini. Mereka adalah adalah Mardial Al Anhar yang
akrab dipanggil dengan Al dan Kadu. Mereka berdua rela merogoh koceknya untuk
project street art ini. Dinding-dinding kota yang dilaluinya tidak luput dari sapuan
kuas dan semprotan piloks mereka. Dalam tournya,
mereka tidak hanya membuat mural, tapi mencoba melihat dan menikmati arus
kesenian di setiap kota yang mereka singgahi terutama di kota Yogyakarta. Selain
itu, mengunjungi kampus seni seperti ISI Jogjakarta adalah langkah mereka untuk
mencoba menjalin komunikasi dengan mahasiswanya. Mereka berdiskusi bertukar
pikiran dan berbagi pengalaman sebagai seniman street art. Alhasil, kegiatan mereka diapresiasi oleh teman-teman
ISI Yogyakarta.
Dalam aktivitas muralnya di Yogyakarta sendiri,
terdapat tiga titik sentral mereka dalam project seni mereka yaitu sekitar
taman budaya Yogyakarta, perempatan parangtritis dan sekitar ISI Yogyakarta di Sewon.
Meskipun dalam satu lingkup komunitas, mereka tetap menggunakan objek ciri khas
mereka masing-masing dalam menggarap muralnya. Al dengan ciri khasnya bentuk ikon
manusia dan kadu dengan ciri khas akar dalam objek muralnya.
Mural Al menggambarkan manusia yang
dideformasi bentuknya. Kepalanya berbentuk segi empat dengan sebelah mata yang
melotot dan sebelahnya ditutup dengan bentuk X dan mulut yang tersenyum menampilkan
gigi secara keseluruhan. Objeknya memakai kemeja, jas, dan dasi serta celana
selayaknya orang penting. Tangan objeknya ini digambar dengan memegang botol
yang berisi bunga. Di setiap titik sentral muralnya dia menggambarkan objeknya dalam
berbagai pose. Berbeda dengan Al, Kadu dengan karakter simpelnya, dia memilih
objek akar. Akar yang hitam pekat yang keluar dari tanah yang dideformasi
dengan berbagai bentuk. Meskipun objek merek berbeda, mereka tetap
berkolaborasi dalam menggarap mural tersebut. Kedua objek tersebut
dikolaborasikan dalam satu cerita gambar.
Tema sentral yang mereka ungkapkan dalam mural
ini adalah tema diskriminasi. Mereka mencoba keluar dari kegelisahan mereka dalam
kungkungan tempat mereka di Padang untuk mencoba menikmati arus kesenian
diberbagai kota yang mereka singgahi. Kegelisahan dan ketidakpuasan itulah yang
kemudian membuat mereka berani melakukan tour dan menunjukkan diri mereka di
publik. Diskriminasi yang mereka maksud adalah sebuah problematika di lingkungannya
yang kurang mendapatkan apresiasi dari masyarakatnya. Seni dianggap sebagai
sebuah kegiatan yang tidak begitu berarti apa-apa di lingkungannya. Sehingga
satu hal yang dilakukan adalah menciptakan karya seni.
Dan tentunya itu adalah sesuatu yang benar,
karena pakar psikologi saja pernah mengatakan bahwa kegiatan kesenian merupakan
sebuah aktivitas yang mengungkapkan kegelisahan batin seseorang sehingga muncul
simbol-simbol dalam karya yang merepresentasikan kegelisahannya. Aktivitas
kesenian menciptakan bahasa non verbal yang tidak bisa diwakili oleh bahasa
verbal. Sehingga seni memebrikan
kebebasan bagi setiap orang untuk mengungkapkan isis hatinya sehingga mereka
bisa tenang dan puas. Hal seperti inilah yang ada dalam kedua perupa ini. Hal ini terlihat pada kedua karya street art mereka. Objek yang digambarkan oleh kolaborasi mereka berdua
memberikan sebuah kesan yang optimis dalam berkesenian. Sibol-simbol mata yang
tertutup sebelah, bunga yang dipegangnya, akar yang menjalar dan keluar diatas
permukaan tanah memberikan kesan optimistis dalam kegiatan berkesenian mereka.
Hal ini ditambah lagi dalam aktivitas berkarya
merka, yang mengandalkan kemampuan materinya seadanya. Mereka memanfaatkan
materinya dengan sebaik-baiknya terutama untuk keperluan hidup mereka
sehari-hari dalam tournya dan untuk bahan mural mereka. Dengan mengandalakn
teman maupun kenalan di setiap kota, mereka memberanikan diri untuk tour di
kota-kota besar di Sumatra, Jawa dan Bali. Dalam perjalanannya, mereka
menumpang di truk muatan sebagai alat transportasi merah meriah mereka dan
mengamen untuk memenuhi kebutuhan merka sehari-hari selama tournya. GILA kata yang mungkin orang katakan melihat ataupun
mendengar aktivitas mereka, tapi ini benar-benar terjadi. Seni memang misteri.
Mereka menggunakan tembok sebagai kanfasnya
dan ruang bebas sebagai tempat pameran mereka. Pameran yang mungkin hanya satu
malam, satu hari, satu bulan atau bahkan selamanya, selama mural mereka tidak
dihapus oleh komunitas lain yang ingin membuat mural ditempat tersebut. tembok
dan ruang bebas menjadi ruang kolektif bagi mereka. Sungguh dunia seni yang
penuh tantangan. “Kanfas” dan “galeri” untuk semua kalangan masyarakat atas
maupun bawah. Hal yang mereka cari dan yang mereka lakukan adalah untuk mengeksistensikan
diri atau kelompok, kritik sosial dan tentunya merelaksasikan diri terhadap masalah,
dengan kata lain meluapkan emosi dan kegelisahan melalui bahasa non verbal.
Dari pengalaman kedua perupa tersebut, dengan
pahit dan optimistisnya dalam berkarya, masihkah kita berpikir untuk berkarya
harus berpatokan pada ekonomi?, masihkah kita berpikir ketika kita tidak
dianggap kemudian merasa pesimis?, masihkah kita berpiikir bahwasanya berkarya
itu untuk mengasilkan uang?. Coba refleksikan kembali tujuan kita berkesenian
selama ini. Semuanya ada pada diri kita sendiri.