Kamis, 07 Mei 2015

Street art sebagai Wujud Ekspresi Diri
Oleh: Miftahul Khairi
Apakah sebenarnya street art itu?.
Mungkin kita memperhatikan karya street art hanya sepintas, mengabaikannya, mencacinya karena mengotori tembok atau bahkan dinding rumah kita, atau bahkan mungkin tidak memperhatikan sama sekali karya seni tersebut.
Street art yang sering dikenal dengan graffiti atau mural merupakan karya seni yang perlu untuk diapresiasi. Kita tentu sering melihat tembok-tembok dibeberapa jalan di Kota Yogyakarta yang selalu dicorat coret dan bahkan digambar. Apakah itu sebagai aksi vandalisme?, kritik sosial?, bentuk protes terhadap pemerintah?, ataukah wujud penyataan diri sebuah komunitas atau seniman? Ataukah seperti apa?.jawabannya mungkin semuanya IYA, tergantung dari sisi mana kita melihatnya. Tapi yang jelas, secara sadar ataupun tidak sadar dalam coretan ataupun gambar, ada suatu makna yang terkandung di dalamnya.
Di kota istimewa ini fenomena seperti itu bukanlah lagi hal yang baru bagi kita, apalagi dikalangan pecinta seni. Terlebih lagi kota Yogyakarta dengan ikonnya sebagai kota pendidikan khususnya seni di Indonesia, sehingga itu bukanlah lagi hal yang biasa. Tapi pernahkah kita berpikir bahwa siapakah yang mempunyai coretan itu ?. Hal yang sangat sepele tapi perlu untuk direnungkan kembali.  
Mengmati mural di jalanan, berebda dengan lukisan yang terpampang ekslusif di dalam galeri atau musem. Mungkin ketika kita melihat mural, kita tentu sulit untuk mengetahui siapa pemilik karya ini. Berbeda dengan karya lukis yang biasanya ekslusif. Dia ditempatkan di galeri atau museum, dilengkapi dengan catalog sehingga para pengunjung bisa melihat dan bisa mengetahui siapa seniman yang melukis ini.
Di kota Yogyakarta sendiri, banyak komunitas graffiti dan mural yang eksis dan tidak asing bagi kita seperti Ketjil Bergerak, Art Prek, JKOK, Apotik Komik dan lain-lain. semua komunitas ini tentunya mempunyai tujuan yang berbeda-beda dalam mengaplikasikan graffiti atau mural di ruang publik entah itu sebagai bentuk protes atau wujud eksistensi diri dan bahkan aksi vandalisme. Anggapan itu sah sah saja bagi para pengamat seni.
Bebicara mengenai tujuan berkesenian, pernahkan anda berpikir jika ada komunitas mural dan graffiti yang tour setiap kota untuk membuat mural?. Sebenarnya apakah tujuan mereka?. Tapi yang jelas, mereka meberikan warna tersendiri dalam dunia seni rupa
Begundal rupa, itulah nama komunitas mural dari kota Padang Sumatra barat. Komunitas ini melakukan tour dari kota ke kota. Rute tour mereka adalah dari kota ke kota dimulai dari kota-kota yang berada di Sumatra kemudian dilanjutkan ke kota-kota di Jawa dan berkhir di Bali.  Tour mural keliling kota ini dilakukan oleh dua orang orang dari komunitas ini. Mereka adalah adalah Mardial Al Anhar yang akrab dipanggil dengan Al dan Kadu. Mereka berdua rela merogoh koceknya untuk project street art ini. Dinding-dinding kota yang dilaluinya tidak luput dari sapuan kuas dan semprotan piloks mereka. Dalam tournya, mereka tidak hanya membuat mural, tapi mencoba melihat dan menikmati arus kesenian di setiap kota yang mereka singgahi terutama di kota Yogyakarta. Selain itu, mengunjungi kampus seni seperti ISI Jogjakarta adalah langkah mereka untuk mencoba menjalin komunikasi dengan mahasiswanya. Mereka berdiskusi bertukar pikiran dan berbagi pengalaman sebagai seniman street art. Alhasil, kegiatan mereka diapresiasi oleh teman-teman ISI Yogyakarta.
Dalam aktivitas muralnya di Yogyakarta sendiri, terdapat tiga titik sentral mereka dalam project seni mereka yaitu sekitar taman budaya Yogyakarta, perempatan parangtritis dan sekitar ISI Yogyakarta di Sewon. Meskipun dalam satu lingkup komunitas, mereka tetap menggunakan objek ciri khas mereka masing-masing dalam menggarap muralnya. Al dengan ciri khasnya bentuk ikon manusia dan kadu dengan ciri khas akar dalam objek muralnya.
Mural Al menggambarkan manusia yang dideformasi bentuknya. Kepalanya berbentuk segi empat dengan sebelah mata yang melotot dan sebelahnya ditutup dengan bentuk X dan mulut yang tersenyum menampilkan gigi secara keseluruhan. Objeknya memakai kemeja, jas, dan dasi serta celana selayaknya orang penting. Tangan objeknya ini digambar dengan memegang botol yang berisi bunga. Di setiap titik sentral muralnya dia menggambarkan objeknya dalam berbagai pose. Berbeda dengan Al, Kadu dengan karakter simpelnya, dia memilih objek akar. Akar yang hitam pekat yang keluar dari tanah yang dideformasi dengan berbagai bentuk. Meskipun objek merek berbeda, mereka tetap berkolaborasi dalam menggarap mural tersebut. Kedua objek tersebut dikolaborasikan dalam satu cerita gambar.
Tema sentral yang mereka ungkapkan dalam mural ini adalah tema diskriminasi. Mereka mencoba keluar dari kegelisahan mereka dalam kungkungan tempat mereka di Padang untuk mencoba menikmati arus kesenian diberbagai kota yang mereka singgahi. Kegelisahan dan ketidakpuasan itulah yang kemudian membuat mereka berani melakukan tour dan menunjukkan diri mereka di publik. Diskriminasi yang mereka maksud adalah sebuah problematika di lingkungannya yang kurang mendapatkan apresiasi dari masyarakatnya. Seni dianggap sebagai sebuah kegiatan yang tidak begitu berarti apa-apa di lingkungannya. Sehingga satu hal yang dilakukan adalah menciptakan karya seni.
Dan tentunya itu adalah sesuatu yang benar, karena pakar psikologi saja pernah mengatakan bahwa kegiatan kesenian merupakan sebuah aktivitas yang mengungkapkan kegelisahan batin seseorang sehingga muncul simbol-simbol dalam karya yang merepresentasikan kegelisahannya. Aktivitas kesenian menciptakan bahasa non verbal yang tidak bisa diwakili oleh bahasa verbal.  Sehingga seni memebrikan kebebasan bagi setiap orang untuk mengungkapkan isis hatinya sehingga mereka bisa tenang dan puas. Hal seperti inilah yang ada dalam kedua perupa ini.  Hal ini terlihat pada kedua karya street art mereka. Objek yang digambarkan oleh kolaborasi mereka berdua memberikan sebuah kesan yang optimis dalam berkesenian. Sibol-simbol mata yang tertutup sebelah, bunga yang dipegangnya, akar yang menjalar dan keluar diatas permukaan tanah memberikan kesan optimistis dalam kegiatan berkesenian mereka.
Hal ini ditambah lagi dalam aktivitas berkarya merka, yang mengandalkan kemampuan materinya seadanya. Mereka memanfaatkan materinya dengan sebaik-baiknya terutama untuk keperluan hidup mereka sehari-hari dalam tournya dan untuk bahan mural mereka. Dengan mengandalakn teman maupun kenalan di setiap kota, mereka memberanikan diri untuk tour di kota-kota besar di Sumatra, Jawa dan Bali. Dalam perjalanannya, mereka menumpang di truk muatan sebagai alat transportasi merah meriah mereka dan mengamen untuk memenuhi kebutuhan merka sehari-hari selama tournya. GILA kata yang mungkin orang katakan melihat ataupun mendengar aktivitas mereka, tapi ini benar-benar terjadi. Seni memang misteri.
Mereka menggunakan tembok sebagai kanfasnya dan ruang bebas sebagai tempat pameran mereka. Pameran yang mungkin hanya satu malam, satu hari, satu bulan atau bahkan selamanya, selama mural mereka tidak dihapus oleh komunitas lain yang ingin membuat mural ditempat tersebut. tembok dan ruang bebas menjadi ruang kolektif bagi mereka. Sungguh dunia seni yang penuh tantangan. “Kanfas” dan “galeri” untuk semua kalangan masyarakat atas maupun bawah. Hal yang mereka cari dan yang mereka lakukan adalah untuk mengeksistensikan diri atau kelompok, kritik sosial dan tentunya merelaksasikan diri terhadap masalah, dengan kata lain meluapkan emosi dan kegelisahan melalui bahasa non verbal.
Dari pengalaman kedua perupa tersebut, dengan pahit dan optimistisnya dalam berkarya, masihkah kita berpikir untuk berkarya harus berpatokan pada ekonomi?, masihkah kita berpikir ketika kita tidak dianggap kemudian merasa pesimis?, masihkah kita berpiikir bahwasanya berkarya itu untuk mengasilkan uang?. Coba refleksikan kembali tujuan kita berkesenian selama ini. Semuanya ada pada diri kita sendiri.


Rabu, 15 Oktober 2014

mapping teori antropologi

KAJIAN MAKAM TOLOBALI DENGAN MAPPING TEORI

BAB I   PENDAHULUAN
A.     LATAR BELAKANG
Tiga wujud kebudayaan Dalam ilmu antropologi terdapat yaitu ide, aktivitas dan artefak. Wujud artefak kebudayaan sangat erat hubungannya dengan dunia kesenian. Artefak kebudayaan manusia pada masing-masing era atau periode tentu berbeda-beda. Kebudayaan manusia pada masa prasejarah menghasilkan karya seni di dinding-dinding gua, kebudayaan manusia pada periode Hindu-Budha menghasilkan candi dan ornamennya, kebudayaan Islam adalah Makam dan ornamennya dan sampai pada masa modern yang menghasilkan karya-karya seni lukis kanfas.
Dalam beberapa artefak kebudayaaan tersebut, Penulis ingin mengkaji mengenai artefak pada masa kebudayaan Islam yaitu mengenai makam dan ornamennya pada khususnya yang terdapat pada makam Sultan Bima di Tolobali. Dari sisi wujud kebudayaan, artefak tersebut merupakan bukti otentik dari idea dengan sistem kepercayaan masyarakat Bima pada masa itu. Makam Sultan atau Raja dengan makam masyarakat biasa sangat berbeda dalam bentuk maupun struktur serta hiasan-hiasan atau ornamen yang diterapkan dalam makamnya. 
Dalam mengkaji permasalah yang berkaitan dengan artefak seni ini, terlebih dahulu harus mengetahui dasar-dasar teori untuk mengkaji obyek permasalahan tersebut, sehingga bisa mengetahui lebih banyak tentang satu obyek penelitian tersebut dari berbagai sisi teori. Kajian dengan mapping teori berfungsi melihat obyek penelitian tersebut dari berbagai sisi. Satu obyek penelitian yaitu makam dan ornamennya dikaji dengan beberapa teori dan kemudian mengetahui hasil kajian obyek penelitian tersebut dari berbagai sisi sesuai dengan teori yang dikaji.
Untuk memperoleh hasil kajian mengenai makam dan ornamennya ini, maka akan dikaji dengan menggunakan beberapa sudut pandang teori yaitu teori mimetic yang dikemukakan oleh Plato dan Aristoteles, teori ekspresi yang dikemukakan oleh Suzanne K. Langer, teori obyektif (bentuk dan struktur) oleh Levi Strauss dan teori pragmatis (structural-fungsional) oleh Talcott Parson.
        

B.     RUMUSAN MASALAH
Dalam penulisan ini, penulis ingin mengkaji
Bagaimanakah makam beserta ornamennya tersebut  dikaji dengan teori mimesis, ekspresi, obyektif dan pragmatis?, bagaimana hubungan keempat teori tersebut yang tercermin dari makam beserta ornamennya?.  

C.     TUJUAN
Hal yang menjadi tujuan pengkajian ini adalah Untuk menjelaskan secara deskriptif mengenai artefak makam dan ornamen sultan ini dengan pendekatan teori mimesis, ekspresi, obyektif dan pragmatis sehingga bisa mengetahui berbagai sisi dari makam tersebut.

BAB II   PEMBAHASAN
A.    FENOMENA KEBUDAYAAN
Makam tua Tolobali merupakan artefak dari kebudayaan Islam di Bima. Kompleks Makam tua tolobali adalah makam Sultan Bima dan Ulama yang berpengaruh pada masa Kesultanan Bima. Sultan dan ulama yang dimakamkan pada kompleks makam tersebut adalah a). Makam Sultan  Abil Khair Sirajudin / I Ambela (Raja Bima Ke II, 1640- 1682 M),  meninggal pada tanggal 17 Rajab 1091 H (22 Juli 1682 M), b). Sultan Nuruddin Abubakar Ali Syah/ Mapparabung Nuruddin Daeng Matalli Karaeng Panarageng  (Raja Bima Ke III, 1682-1687), c). Syekh Umar Al Bantami / Syekh Umar Al Bamaksum (Ulama keturunan Arab yang telah lama menetap di Banten) dan d). Makam Sultan Jamaluddin / Alasa Djamaluddin Ma Wa’a Romo (Raja Bima ke IV, 1687-1696).
Makam-makam sultan dan ulama tersebut dibuat megah dan dipadukan dengan ornamen yang indah, sehingga membedakannya dengan makam-makam disekitarnya. Penulis mengambil makam sultan nuruddin sebagai sampelnya. Struktur makam tersebut, terdiri dari cungkup (kubah, dinding, pintu dan pilar), dan nisan. Pintu cungkup makam berada disebelah selatan dan dibuat sempit sehingga kita harus tunduk ketika ingin masuk berziarah. Nisan makam berbentuk gada dengan segi delapan. Berikut foto dan gambar ilustrasi makam 





Gambar 1 : Foto cungkup makam




Gambar 2: Gambar ilustrasi cungkup makam tampak depan dan atas







                
Gambar 3: Foto dan gambar ilustrasi nisan tampak depan dan atas


Gambar 4: Observasi


Bagian makam tidak diterapkan ornamen yang menggambarkan hewan dan manusia atau mahkluk hidup, yang ada adalah Ornamen-ornamen geometris dan floral (tumbuh-tumbuhan) yang sudah digubah dan distilir bahkan sudah dipadukan keduanya sehingga tidak menyerupai bentuk asli dari tumbuh-tumbuhan. Penerapan ornamen terdapat pada nisan dan pada cungkup makam. Pada bagian cungkup itu sendiri diterapkan ornamen pada bagian puncak cungkup, dinding, pilar dan pintu.

B.     KEBUDAYAAN HUBUNGAN DENGAN TEORI MIMESIS
1. Plato
Menurut pandangan Plato, mimesis merupakan tiruan dari alam. Begitupun dengan seni, seorang seniman hanya bisa meniru apa yang ada di sekelilingnya. Wujud yang sebenarnya adalah ada pada alam ide. Dia memberikan contoh mengenai  seorang seniman dengan pembuat kursi. Seniman hanya bisa melukiskan kursi tapi tidak bisa membuat kursi, sehingga dia pun menganggap rendah seniman. Seni hanyalah sebagai tiruan dan yang indah itu ada dalam alam ide.   
2. Aristoteles
Menurut pandangan aristoteles, mimesis adalah tiruan terhadap alam, dia memandang bahwa, dalam meniru haruslah melakukan perenungan tentang kompleksitas dari kenyataan alam tersebut. Dia memandang ada dua hal penting dalam meniru yaitu meniru bentuk dan wujud visual dari alam yang diekspresikan dengan menggambar dan diwujudkan dengan ekspresi nyanyian atau bunyi.
C.     TEORI EKSPRESI
Suzanne K. Langer memandang bahwa ekspresi merupakan penciptaan wujud dengan berbagai symbol-simbol. Prinsip karya seni dengan konsepnya yang disebut sebagai living form dan ekspressive (Hadi, 2006: 54). Kesimpulan dari pernyataan tersebut bahwa dalam wujud symbol, ekspresi merupakan bentuk yang utuh yang bukan hanya memberi makna tetapi juga memberi pesan.

D.    TEORI OBYEKTIF (Bentuk dan Struktur)
Levi Strauss
Dalam pendekatan antropologi melalui teori Levi Strauss terdapat beberapa hal yang menjadi dasar dari teori strukturalisnya (Heddy, 2009: 61-63). Hal-hal tersebut adalah
1.      Upacara-upacara, system-sistem kekerabatan dan perkawinan, pola tempat tinggal, pakaian dan sebagainya, secara formal semuanya dapat dikatakan sebagai bahasa-bahasa
2.      Dalam diri setiap manusia terdapat kemampuan dasar yang diwariskan secara genetis oleh keluarganya sehingga kemampuan ini ada pada semua manusia yang normal yaitu menyususun suatu struktur, atau menempelkan suatu struktur tertentu pada gejala-gejala yang dihadapi oleh dirinya.
3.      Relasi-relasi suatu fenomena budaya dengan fenomena-fenomena yang lain pada titik waktu tertentu inilah yang menentukan makna fenomena tersebut.
4.      Relasi-relasi yang ada pada struktur dalam dapat disederhanakan lagi menjadi oposisi berpasangan.

E.     TEORI PRAGMATIS ( Structural-Fungsional)
Talcott Parson
Pemikiran Talcott Parson sangat dipengaruhi oleh Durkheim.Durkheim memandang bahwa masyarakat sebagai system (http://id.wikipedia.org/). Masyarakat adalah kesatuan dari bagian-bagian yang berbeda. Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi masing – masing yang membuat sistem menjadi seimbang. Bagian tersebut saling interdependensi satu sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem. Pemikiran inilah yang menjadi sumbangsih Durkheim dalam teori Parsons dan Merton mengenai struktural fungsional.
Talcott Parson membagi empat fungsi primer yang dapat dirangkaikan dengan system hidup yaitu adaptasi, system kepribadian memenuhi kebutuhan pencapaian tujuan, integrasi dan mempertahankan pol-pola dalam system. Adaptasi sebagai wujud kongkritnya adalah ilmu pengetahuan. Pencapaian tujuan sebagai wujud kongkritnya adalah perbuatan ekspresif dalam karya seni dan komunikasi simbolik. Integrasi sebagai wujud ketentuan norma dan etika yang berlaku. Pola dan system sebagai wujud kongkritnya adalah dasar dan inti perilaku keagamaan (Hadi, 2006: 52).
F.      MAPPING TEORI TERHADAP FENOMENA KEBUDAYAAN
Tahapan ini merupakan tahap  mengkaji fenomena kebudayaan lewat teori-teori yang dipaparkan sebelumnya yaitu teori mimesis, teori ekspresif, teori obyektif dan teori pragmatis.
Dalam kajian makam ini, jika dikaitkan dengan teori mimesis maka ornamen tadi merupakan tiruan dari bentuk visual tumbuhan dari alam yang diwujudkan dengan ukiran. Tiruan tersebut adalah bagian-bagian dari tumbuhan seperti bunga, tumbuhan yang merambat dan pucuk rebung yang diukir dengan kreasi masyarakat pada saat itu.  
Ornamen hadir ditengah kehidupan masyarakat sebagai media ungkapan perasaan yang diwujudkan dalam bentuk visual yang proses penciptaannya tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh lingkungan. Dalam ornamen itu terdapat pula makna simbolik tertentu menurut apa yang berlaku sah secara konvensional di lingkungan masyarakat pendukung (Soegeng Toekio M, 1987: 9). Ornamen sebagai kajian teori ekspresi merupakan kreasi manusia dalam menggambarkan system kebudayaan yang ada pada saat itu, dalam teori ekspresi ini ornamen yang diukir pada makam tersebut merupakan symbol yang memberikan makna dan pesan kepada masyarakat Bima. Sebagai contoh motif bunga samobo (sekuntum bunga) sebagai ekspresi yang menyimbolkan  kepercayaan yang satu terhadap tuhan. Motif Kakando (rebung) sebagai wujud ekspresi hubungan antara manusia dengan sang pencipta. Motif Pado Waji (belah ketupat) sebagai wujud ekspresi kepercayaan masyarakat bima bahwa manusia  mengaku kebesaran tuhan yang menyelimuti alam semesta ini dan juga mengaku kebesaran sultan sebagai pemimpin dibumi (ulil amri).
Teori obyektif dalam fenomena kebudayaan yang berkaitan dengan kemampuan manusia untuk menyusun dan membuat relasi antara kebudayaan yang baru dengan yang lain seperti yang dipaparkan oleh levi strauss adalah tercermin dari motif tumbuhan yang terdapat pada makam tersebut yang lebih kepada kemampuan ide masyarakat dengan memberikan makna pada bentuk struktur makam serta ornamen makam lewat ekspresi kreasi pembuatan bentuk struktur makam dan ornamennya, sehingga makna tersebut berlaku pada masyarakat bima. Selain itu adalah kemampuan alamiah manusia untuk memilih obyek yang ada disekitarnya yang mempunyai sifat yang sama dengan apa yang ingin dia ungkapkan, serta  kemampuan masyarakat Bima menstilirisasi atau menggubah bentuk asli dari bentuk floral sehingga tidak meyerupai bentuk floral pada aslinya dan kemampuannya memadukan bentuk geometris dengan bentuk floral.
Makam pada umumnya berfungsi sebagai tempat menguburkan manusia sesuai dengan aturan agama islam. Jika fenomena kebudayaan ini dikaitkan dengan teori pragmatis, maka pendekatannya lebih kepada empat system hidup yang dipaparkan oleh Talcott Parson sebelumnya yaitu
1.      Adaptasi sebagai wujud kongkritnya adalah ilmu pengetahuan, maka dalam kaitannya dengan makam beserta ornamennya adalah sikap adaptasi terhadap kebudayaan Islam yang berpengaruh pada saat itu, sehingga bentuk-bentuk ornamen digubah dan di stilir karena dalam ajaran islam tidak diperbolehkan menggambar atau membentuk makhluk hidup.
2.      Pencapaian tujuan yang wujudnya adalah perbuatan ekspresif dalam karya seni dan komunikasi simbolik terdapat pada makna bentuk struktur makam dan oranmennya yang memberikan pesan makna lewat alasan pintu cungkup makam dibuat pada bagian selatan dan sempit, serta makna oranamen-ornamennya.
3.      Integrasi sebagai wujud ketentuan norma dan etika yang berlaku, terdapat pada norma masyarakat bima dalam memperlakukan rajanya sebagai pemimpin dan pelindung dalam kehidupannya, dengan membuat makam dengan struktur yang sangat mencerminkan norma masyarakat Bima. Mulai dari bentuk struktur makam yang megah dan dihiasi banyak ornamen sebagai symbol keagungan masyarakat terhadap sultannya.  Serta alasan mengapa pintu makam itu dibuat pada bagian selatan tepat bagian kaki makam dan dibuat sempit, itu mencerminkan sebagai nilai kesopanan masyarakat Bima yaitu ketundukan dan kepatuhan masyarakat bima terhadap sultan. Pintu yang dibuat pada bagian selatan agar ketika sesorang masuk dalam cungkup makam, diposisikan berhadapan dengan sultan.  Pintu yang sempit difungsikan agar kita menunduk ketika masuk didalamnya (Ketika harus bertemu dan berhadapan dengan seorang sultan, harus menghormatinya dengan membungkuk tepat didepannya).
4.      Pola dan system sebagai wujud kongkritnya adalah dasar dan inti perilaku keagamaan terdapat pada fungsi utama dari makam itu sendiri sebagai tempat mengubur manusia sesuai dengan ketentuan yang ada pada ajaran agama Islam, dan pada pengambilan obyek tumbuh-tumbuhan serta bentuk-bentuk geometris dalam pembuatan ornamen, distilir sedemikian rupa agar tidak menyerupai bentuk aslinya, karena islam melarang penggambaran atau membuat bentuk yang menyerupai makhluk hidup.

BAB III   KESIMPULAN
            Kajian mengenai makam dan ornamen dengan beberapa teori memperkaya pandangan terhadap makam dan ornamennya khususnya pada makam Sultan Bima. Hasil kajian dengan teori-teori ini mengungkap bahwa ornamen yang ada dalam makam tersebut adalah merupakan tiruan dari alam yang dikspresikan melalui ukiran terhadap cungkup maupun nisan makam dengan makna dan pesan, dari makna dan pesan tersebut memberikan pengetahuan mengenai kemampuan masyarakat bima dalam mengungkapkan pesan maupun makna lewat bentuk struktur makam dan ornamen yang diterapkan. Dari ide-ide pemberian makna, bisa diketahui mengenai noma-norma yang berlaku pada masyarakat bima, bagaimana cara memperlakukan raja dan bagaimana system kepercayaan masyarakat pada saat.
Mapping teori tadi menghasilkan pandangan bahwa ornamen-ornamen yang diterapkan pada makam kesultanan bima adalah merupakan tiruan dari alam yaitu bunga samobo (sekuntum bunga) dan kakando (rebung). Sikap ekspresif masyarakat bima dalam membuat ornamen-ornamen tersebut sebagai symbol untuk memaparkan makna dan pesan. Sekuntum bunga dimaknai sebagai kepercayaan terhadap keesaan tuhan, rebung dimaknai sebagai hubungan manusia dengan tuhan, belah ketupat dimaknai sebagai pengakuan diri terhadap kekuasaan tuhan dan kekusaan sultan sebagai pemimpinnya.
Sikap kemampuan manusia dalam membentuk kebudayaan adalah dari kemapuan masyarakat bima membuat bentuk dan struktur makam dengan berbagai makna dan memilih obyek-obyek sekitarnya untuk mengungkapkan pesan makna tadi, sehingga makna tersebut berlaku bagi masyarakat bima. Structural fungsional untuk mengetahui adaptasi masyarakat bima dalam menstilir bentuk asli bunga dalam adaptasinya terhadap agama islam yang melarang penggambaran makhluk hidup. Tujuan komunikasi yang dibangun adalah terdapat pada makna-makna motif serta bentuk struktur makam. Integrasi dicerminkan mengenai norma dan adat masyarakat bima dalam menghormati seorang raja yaitu dengan pembuatan makam yang megah, dan sikap menunduk ketika bertemu dengannya sebagai norma, sikap dan cara masyarakat bima ketika bertemu dan berhadapan dengan seorang sultan. Serta pola dan system agama pada masyarakat bima dengan menggunakan motif yang digubah dan distilir untuk penerapan ornamennya sehingga motif-motif yang diterapkan tidak mencerminkan makhluk hidup seutuhnya.






Daftar pustaka
Ahimsa, Heddy Schari. 2005. Strukturalisme Levi-Straussdalam Mitos dan Sastra. Yogyakarta: Kapel Press
Hadi, Y. Sumandiyo. 2006. Seni dalam Ritual Agama.Yogyakarta: Pustaka
Toekio, Soegeng M. 1987. Mengenal Ragam Hias Indonesia. Bandung : Angkasa




                   


Sabtu, 21 Juni 2014

Sejarah Makam Tua Tolobali

              Hubungan kerajaan Gowa dan Bima sangat erat. Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Kahir (1640-1682), Gowa berusaha meningkatkan hubungan dengan Kesultanan Bima. Salah satunya dengan menikahkan puteri Sultan Gowa Karaeng Bonto Je’ne adiknya Sultan Hasanuddin dengan Abil Khair Sirajuddin yang pada saat itu masih menjadi putera mahkota dari Sultan Abdul Kahir. Setelah Abdul Kahir wafat, yang menggantikannya adalah Sultan Abil Khair sirajudin. dalam usahanya menyiarkan agama Islam di tanah Bima dan melanjutkan dasar-dasar Islam yang di tanamkan oleh sang Ayah (Sultan Abdul Kahir), Sultan Abdul Khair Sirajuddin menambahkan satu Majelis dalam pemerintahannya yaitu Majelis Keagamaan yang di jabat oleh Mufti atau Imam Kesultanan yang sebelumnya ada dua Majelis Tureli dan Majelis Hadat (http://alanmalingi.wordpress.com).
Dan masa Era pemerintahan Sultan Abdul Khair Sirajuddin atau dengan gelar Ruma Mantau Uma Jati, keadaan Islam di Bima dalam kejayaan, dibidang Politik, Ekonomi, maupun kebudayaan. Pada masa pemerintahannya Islam sangat berkembang pesat di Bima. Simon Peres seorang warga Negara Belanda dengan jujur mengakui bahwa pada masa pemerintahan Sultan Abil Khair Sirajuddin. Bima mengalami kemajuan dalam bidang perniagaan. Sejarahwan Peter Cary, juga mengakui bahwa pada abad 17 M, Kesultanan Bima menjadi pusat penyiaran agama Islam dan tersohor karena ketaatannya pad agama Islam (M. Hilir Ismail 2007: 25).
Selain itu Sultan Abil Khair Sirajuddin aktif melawan penjajah, salah satunya adalah membantu Sultan Hasanuddin melawan Belanda yang pada akhirnya berbuntut pada perjanjian Bongaya. Dalam isi perjanjian tersebut Karaeng Bonto Marannu dan Sultan Abil Khair Sirajuddin harus ditangkap baik dalam keadaan hidup maupun mati. Sehingga pada akhirnya mereka pergi meninggalkan Gowa dan melanjutkan perjuangannya membantu Pangeran Trunojoyo. Pada tahun 1674, Karaeng Bonto Marannu dan Sultan Abil Khair Sirajuddin bersama laskarnya tiba di Madura melawan Amangkurat II Mataram yang sudah mengakui kedaulatan Belanda. Pada peperangan tersebut Karaeng Bonto Marannu gugur dan mereka mengalami kekalahan. Dengan sisa laskarnya Sultan Abil Khair Sirajuddin dan Putranya Nuruddin melanjutkan perjuangan di Banten membantu Sultan Ageng Tirtayasa. Dalam peperangan tersebut beliau bertemu dengan Karaeng Popo. Pada peperangan tersebut mereka mengalami kekalahan karena Sultan Haji putera Sultan Ageng Tirtayasa yang bekerja sama dengan Belanda (M. Hilir Ismail 2007: 30).
  Sultan Abil Khair Sirajuddin didampingi putranya Nuruddin kembali ke Bima pada tahun 1679 M. Dalam rombongan ikut pula Karaeng Popo dan Syekh Umar Al Bantami. Ulama besar berdarah Arab yang sudah lama di Banten. Membantu Sultan Ageng Tirtayasa dalam menegakkan Islam di Bumi Banten (M. Hilir Ismail 2007: 30)
Syekh Umar Al-Bantami menetap di Bima dan di kenal dengan nama Ruma Sehe Banta (Tuan Guru), beliau mengajarkan semua ilmu keagamaan ke Sultan yang sekaligus muridnya. Atas kecintaan sang murid kepada gurunya, Sultan Abil Khair Sirajuddin memberikan hadiah sebidak tanah kepada Syekh Umar Al-Bantami, akan tetapi Sehe Banta (panggilan orang Bima) menolak pemberian hadiah tersebut dengan alasan bahwa beliau tidak bisa bercocok tanam, kemudian Sultan berpikir memang beliau (Sehe banta) hanya ditakdirkan untuk menyiarkan agama Islam, lalu sang Sultan mewakafkannya untuk Rakyat bercocok tanam dan sebagaiannya di dirikan rumah untuk para Ulama dan Mubaligh Melayu, maka tanah ini di kenal dengan nama Tolobali atau tanah yang dikembalikan.