Kamis, 07 Mei 2015

Street art sebagai Wujud Ekspresi Diri
Oleh: Miftahul Khairi
Apakah sebenarnya street art itu?.
Mungkin kita memperhatikan karya street art hanya sepintas, mengabaikannya, mencacinya karena mengotori tembok atau bahkan dinding rumah kita, atau bahkan mungkin tidak memperhatikan sama sekali karya seni tersebut.
Street art yang sering dikenal dengan graffiti atau mural merupakan karya seni yang perlu untuk diapresiasi. Kita tentu sering melihat tembok-tembok dibeberapa jalan di Kota Yogyakarta yang selalu dicorat coret dan bahkan digambar. Apakah itu sebagai aksi vandalisme?, kritik sosial?, bentuk protes terhadap pemerintah?, ataukah wujud penyataan diri sebuah komunitas atau seniman? Ataukah seperti apa?.jawabannya mungkin semuanya IYA, tergantung dari sisi mana kita melihatnya. Tapi yang jelas, secara sadar ataupun tidak sadar dalam coretan ataupun gambar, ada suatu makna yang terkandung di dalamnya.
Di kota istimewa ini fenomena seperti itu bukanlah lagi hal yang baru bagi kita, apalagi dikalangan pecinta seni. Terlebih lagi kota Yogyakarta dengan ikonnya sebagai kota pendidikan khususnya seni di Indonesia, sehingga itu bukanlah lagi hal yang biasa. Tapi pernahkah kita berpikir bahwa siapakah yang mempunyai coretan itu ?. Hal yang sangat sepele tapi perlu untuk direnungkan kembali.  
Mengmati mural di jalanan, berebda dengan lukisan yang terpampang ekslusif di dalam galeri atau musem. Mungkin ketika kita melihat mural, kita tentu sulit untuk mengetahui siapa pemilik karya ini. Berbeda dengan karya lukis yang biasanya ekslusif. Dia ditempatkan di galeri atau museum, dilengkapi dengan catalog sehingga para pengunjung bisa melihat dan bisa mengetahui siapa seniman yang melukis ini.
Di kota Yogyakarta sendiri, banyak komunitas graffiti dan mural yang eksis dan tidak asing bagi kita seperti Ketjil Bergerak, Art Prek, JKOK, Apotik Komik dan lain-lain. semua komunitas ini tentunya mempunyai tujuan yang berbeda-beda dalam mengaplikasikan graffiti atau mural di ruang publik entah itu sebagai bentuk protes atau wujud eksistensi diri dan bahkan aksi vandalisme. Anggapan itu sah sah saja bagi para pengamat seni.
Bebicara mengenai tujuan berkesenian, pernahkan anda berpikir jika ada komunitas mural dan graffiti yang tour setiap kota untuk membuat mural?. Sebenarnya apakah tujuan mereka?. Tapi yang jelas, mereka meberikan warna tersendiri dalam dunia seni rupa
Begundal rupa, itulah nama komunitas mural dari kota Padang Sumatra barat. Komunitas ini melakukan tour dari kota ke kota. Rute tour mereka adalah dari kota ke kota dimulai dari kota-kota yang berada di Sumatra kemudian dilanjutkan ke kota-kota di Jawa dan berkhir di Bali.  Tour mural keliling kota ini dilakukan oleh dua orang orang dari komunitas ini. Mereka adalah adalah Mardial Al Anhar yang akrab dipanggil dengan Al dan Kadu. Mereka berdua rela merogoh koceknya untuk project street art ini. Dinding-dinding kota yang dilaluinya tidak luput dari sapuan kuas dan semprotan piloks mereka. Dalam tournya, mereka tidak hanya membuat mural, tapi mencoba melihat dan menikmati arus kesenian di setiap kota yang mereka singgahi terutama di kota Yogyakarta. Selain itu, mengunjungi kampus seni seperti ISI Jogjakarta adalah langkah mereka untuk mencoba menjalin komunikasi dengan mahasiswanya. Mereka berdiskusi bertukar pikiran dan berbagi pengalaman sebagai seniman street art. Alhasil, kegiatan mereka diapresiasi oleh teman-teman ISI Yogyakarta.
Dalam aktivitas muralnya di Yogyakarta sendiri, terdapat tiga titik sentral mereka dalam project seni mereka yaitu sekitar taman budaya Yogyakarta, perempatan parangtritis dan sekitar ISI Yogyakarta di Sewon. Meskipun dalam satu lingkup komunitas, mereka tetap menggunakan objek ciri khas mereka masing-masing dalam menggarap muralnya. Al dengan ciri khasnya bentuk ikon manusia dan kadu dengan ciri khas akar dalam objek muralnya.
Mural Al menggambarkan manusia yang dideformasi bentuknya. Kepalanya berbentuk segi empat dengan sebelah mata yang melotot dan sebelahnya ditutup dengan bentuk X dan mulut yang tersenyum menampilkan gigi secara keseluruhan. Objeknya memakai kemeja, jas, dan dasi serta celana selayaknya orang penting. Tangan objeknya ini digambar dengan memegang botol yang berisi bunga. Di setiap titik sentral muralnya dia menggambarkan objeknya dalam berbagai pose. Berbeda dengan Al, Kadu dengan karakter simpelnya, dia memilih objek akar. Akar yang hitam pekat yang keluar dari tanah yang dideformasi dengan berbagai bentuk. Meskipun objek merek berbeda, mereka tetap berkolaborasi dalam menggarap mural tersebut. Kedua objek tersebut dikolaborasikan dalam satu cerita gambar.
Tema sentral yang mereka ungkapkan dalam mural ini adalah tema diskriminasi. Mereka mencoba keluar dari kegelisahan mereka dalam kungkungan tempat mereka di Padang untuk mencoba menikmati arus kesenian diberbagai kota yang mereka singgahi. Kegelisahan dan ketidakpuasan itulah yang kemudian membuat mereka berani melakukan tour dan menunjukkan diri mereka di publik. Diskriminasi yang mereka maksud adalah sebuah problematika di lingkungannya yang kurang mendapatkan apresiasi dari masyarakatnya. Seni dianggap sebagai sebuah kegiatan yang tidak begitu berarti apa-apa di lingkungannya. Sehingga satu hal yang dilakukan adalah menciptakan karya seni.
Dan tentunya itu adalah sesuatu yang benar, karena pakar psikologi saja pernah mengatakan bahwa kegiatan kesenian merupakan sebuah aktivitas yang mengungkapkan kegelisahan batin seseorang sehingga muncul simbol-simbol dalam karya yang merepresentasikan kegelisahannya. Aktivitas kesenian menciptakan bahasa non verbal yang tidak bisa diwakili oleh bahasa verbal.  Sehingga seni memebrikan kebebasan bagi setiap orang untuk mengungkapkan isis hatinya sehingga mereka bisa tenang dan puas. Hal seperti inilah yang ada dalam kedua perupa ini.  Hal ini terlihat pada kedua karya street art mereka. Objek yang digambarkan oleh kolaborasi mereka berdua memberikan sebuah kesan yang optimis dalam berkesenian. Sibol-simbol mata yang tertutup sebelah, bunga yang dipegangnya, akar yang menjalar dan keluar diatas permukaan tanah memberikan kesan optimistis dalam kegiatan berkesenian mereka.
Hal ini ditambah lagi dalam aktivitas berkarya merka, yang mengandalkan kemampuan materinya seadanya. Mereka memanfaatkan materinya dengan sebaik-baiknya terutama untuk keperluan hidup mereka sehari-hari dalam tournya dan untuk bahan mural mereka. Dengan mengandalakn teman maupun kenalan di setiap kota, mereka memberanikan diri untuk tour di kota-kota besar di Sumatra, Jawa dan Bali. Dalam perjalanannya, mereka menumpang di truk muatan sebagai alat transportasi merah meriah mereka dan mengamen untuk memenuhi kebutuhan merka sehari-hari selama tournya. GILA kata yang mungkin orang katakan melihat ataupun mendengar aktivitas mereka, tapi ini benar-benar terjadi. Seni memang misteri.
Mereka menggunakan tembok sebagai kanfasnya dan ruang bebas sebagai tempat pameran mereka. Pameran yang mungkin hanya satu malam, satu hari, satu bulan atau bahkan selamanya, selama mural mereka tidak dihapus oleh komunitas lain yang ingin membuat mural ditempat tersebut. tembok dan ruang bebas menjadi ruang kolektif bagi mereka. Sungguh dunia seni yang penuh tantangan. “Kanfas” dan “galeri” untuk semua kalangan masyarakat atas maupun bawah. Hal yang mereka cari dan yang mereka lakukan adalah untuk mengeksistensikan diri atau kelompok, kritik sosial dan tentunya merelaksasikan diri terhadap masalah, dengan kata lain meluapkan emosi dan kegelisahan melalui bahasa non verbal.
Dari pengalaman kedua perupa tersebut, dengan pahit dan optimistisnya dalam berkarya, masihkah kita berpikir untuk berkarya harus berpatokan pada ekonomi?, masihkah kita berpikir ketika kita tidak dianggap kemudian merasa pesimis?, masihkah kita berpiikir bahwasanya berkarya itu untuk mengasilkan uang?. Coba refleksikan kembali tujuan kita berkesenian selama ini. Semuanya ada pada diri kita sendiri.