Hubungan kerajaan Gowa dan Bima sangat erat. Pada masa
pemerintahan Sultan Abdul Kahir (1640-1682), Gowa berusaha meningkatkan
hubungan dengan Kesultanan Bima. Salah satunya dengan menikahkan puteri Sultan
Gowa Karaeng Bonto Je’ne adiknya Sultan Hasanuddin dengan Abil Khair Sirajuddin
yang pada saat itu masih menjadi putera mahkota dari Sultan Abdul Kahir. Setelah
Abdul Kahir wafat, yang menggantikannya adalah Sultan Abil Khair sirajudin.
dalam usahanya menyiarkan agama Islam di tanah Bima dan melanjutkan dasar-dasar
Islam yang di tanamkan oleh sang Ayah (Sultan Abdul Kahir), Sultan Abdul Khair Sirajuddin
menambahkan satu Majelis dalam pemerintahannya yaitu Majelis Keagamaan yang di
jabat oleh Mufti atau Imam Kesultanan yang sebelumnya ada dua Majelis Tureli
dan Majelis Hadat (http://alanmalingi.wordpress.com).
Dan masa Era pemerintahan Sultan Abdul Khair Sirajuddin atau dengan gelar
Ruma Mantau Uma Jati, keadaan Islam
di Bima dalam kejayaan, dibidang Politik, Ekonomi, maupun kebudayaan. Pada masa
pemerintahannya Islam sangat berkembang pesat di Bima. Simon Peres seorang
warga Negara Belanda dengan jujur mengakui bahwa pada masa pemerintahan Sultan
Abil Khair Sirajuddin. Bima mengalami kemajuan dalam bidang perniagaan.
Sejarahwan Peter Cary, juga mengakui bahwa pada abad 17 M, Kesultanan Bima
menjadi pusat penyiaran agama Islam dan tersohor karena ketaatannya pad agama
Islam (M. Hilir Ismail 2007: 25).
Selain itu Sultan Abil Khair Sirajuddin aktif melawan penjajah, salah
satunya adalah membantu Sultan Hasanuddin melawan Belanda yang pada akhirnya
berbuntut pada perjanjian Bongaya. Dalam isi perjanjian tersebut Karaeng Bonto
Marannu dan Sultan Abil Khair Sirajuddin harus ditangkap baik dalam keadaan
hidup maupun mati. Sehingga pada akhirnya mereka pergi meninggalkan Gowa dan
melanjutkan perjuangannya membantu Pangeran Trunojoyo. Pada tahun 1674, Karaeng
Bonto Marannu dan Sultan Abil Khair Sirajuddin bersama laskarnya tiba di Madura
melawan Amangkurat II Mataram yang sudah mengakui kedaulatan Belanda. Pada
peperangan tersebut Karaeng Bonto Marannu gugur dan mereka mengalami kekalahan.
Dengan sisa laskarnya Sultan Abil Khair Sirajuddin dan Putranya Nuruddin
melanjutkan perjuangan di Banten membantu Sultan Ageng Tirtayasa. Dalam
peperangan tersebut beliau bertemu dengan Karaeng Popo. Pada peperangan
tersebut mereka mengalami kekalahan karena Sultan Haji putera Sultan Ageng
Tirtayasa yang bekerja sama dengan Belanda (M. Hilir Ismail 2007: 30).
Sultan Abil Khair Sirajuddin didampingi
putranya Nuruddin kembali ke Bima pada tahun 1679 M. Dalam rombongan ikut pula
Karaeng Popo dan Syekh Umar Al Bantami. Ulama besar berdarah Arab yang sudah
lama di Banten. Membantu Sultan Ageng Tirtayasa dalam menegakkan Islam di Bumi
Banten (M. Hilir Ismail 2007: 30)
Syekh Umar Al-Bantami menetap di Bima dan di kenal dengan nama Ruma Sehe Banta (Tuan Guru), beliau
mengajarkan semua ilmu keagamaan ke Sultan yang sekaligus muridnya. Atas
kecintaan sang murid kepada gurunya, Sultan Abil Khair Sirajuddin memberikan
hadiah sebidak tanah kepada Syekh Umar Al-Bantami, akan tetapi Sehe Banta (panggilan orang Bima)
menolak pemberian hadiah tersebut dengan alasan bahwa beliau tidak bisa
bercocok tanam, kemudian Sultan berpikir memang beliau (Sehe banta) hanya ditakdirkan untuk menyiarkan agama Islam, lalu
sang Sultan mewakafkannya untuk Rakyat bercocok tanam dan sebagaiannya di
dirikan rumah untuk para Ulama dan Mubaligh Melayu, maka tanah ini di kenal dengan
nama Tolobali atau tanah yang dikembalikan.