Sabtu, 21 Juni 2014

Sejarah Makam Tua Tolobali

              Hubungan kerajaan Gowa dan Bima sangat erat. Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Kahir (1640-1682), Gowa berusaha meningkatkan hubungan dengan Kesultanan Bima. Salah satunya dengan menikahkan puteri Sultan Gowa Karaeng Bonto Je’ne adiknya Sultan Hasanuddin dengan Abil Khair Sirajuddin yang pada saat itu masih menjadi putera mahkota dari Sultan Abdul Kahir. Setelah Abdul Kahir wafat, yang menggantikannya adalah Sultan Abil Khair sirajudin. dalam usahanya menyiarkan agama Islam di tanah Bima dan melanjutkan dasar-dasar Islam yang di tanamkan oleh sang Ayah (Sultan Abdul Kahir), Sultan Abdul Khair Sirajuddin menambahkan satu Majelis dalam pemerintahannya yaitu Majelis Keagamaan yang di jabat oleh Mufti atau Imam Kesultanan yang sebelumnya ada dua Majelis Tureli dan Majelis Hadat (http://alanmalingi.wordpress.com).
Dan masa Era pemerintahan Sultan Abdul Khair Sirajuddin atau dengan gelar Ruma Mantau Uma Jati, keadaan Islam di Bima dalam kejayaan, dibidang Politik, Ekonomi, maupun kebudayaan. Pada masa pemerintahannya Islam sangat berkembang pesat di Bima. Simon Peres seorang warga Negara Belanda dengan jujur mengakui bahwa pada masa pemerintahan Sultan Abil Khair Sirajuddin. Bima mengalami kemajuan dalam bidang perniagaan. Sejarahwan Peter Cary, juga mengakui bahwa pada abad 17 M, Kesultanan Bima menjadi pusat penyiaran agama Islam dan tersohor karena ketaatannya pad agama Islam (M. Hilir Ismail 2007: 25).
Selain itu Sultan Abil Khair Sirajuddin aktif melawan penjajah, salah satunya adalah membantu Sultan Hasanuddin melawan Belanda yang pada akhirnya berbuntut pada perjanjian Bongaya. Dalam isi perjanjian tersebut Karaeng Bonto Marannu dan Sultan Abil Khair Sirajuddin harus ditangkap baik dalam keadaan hidup maupun mati. Sehingga pada akhirnya mereka pergi meninggalkan Gowa dan melanjutkan perjuangannya membantu Pangeran Trunojoyo. Pada tahun 1674, Karaeng Bonto Marannu dan Sultan Abil Khair Sirajuddin bersama laskarnya tiba di Madura melawan Amangkurat II Mataram yang sudah mengakui kedaulatan Belanda. Pada peperangan tersebut Karaeng Bonto Marannu gugur dan mereka mengalami kekalahan. Dengan sisa laskarnya Sultan Abil Khair Sirajuddin dan Putranya Nuruddin melanjutkan perjuangan di Banten membantu Sultan Ageng Tirtayasa. Dalam peperangan tersebut beliau bertemu dengan Karaeng Popo. Pada peperangan tersebut mereka mengalami kekalahan karena Sultan Haji putera Sultan Ageng Tirtayasa yang bekerja sama dengan Belanda (M. Hilir Ismail 2007: 30).
  Sultan Abil Khair Sirajuddin didampingi putranya Nuruddin kembali ke Bima pada tahun 1679 M. Dalam rombongan ikut pula Karaeng Popo dan Syekh Umar Al Bantami. Ulama besar berdarah Arab yang sudah lama di Banten. Membantu Sultan Ageng Tirtayasa dalam menegakkan Islam di Bumi Banten (M. Hilir Ismail 2007: 30)
Syekh Umar Al-Bantami menetap di Bima dan di kenal dengan nama Ruma Sehe Banta (Tuan Guru), beliau mengajarkan semua ilmu keagamaan ke Sultan yang sekaligus muridnya. Atas kecintaan sang murid kepada gurunya, Sultan Abil Khair Sirajuddin memberikan hadiah sebidak tanah kepada Syekh Umar Al-Bantami, akan tetapi Sehe Banta (panggilan orang Bima) menolak pemberian hadiah tersebut dengan alasan bahwa beliau tidak bisa bercocok tanam, kemudian Sultan berpikir memang beliau (Sehe banta) hanya ditakdirkan untuk menyiarkan agama Islam, lalu sang Sultan mewakafkannya untuk Rakyat bercocok tanam dan sebagaiannya di dirikan rumah untuk para Ulama dan Mubaligh Melayu, maka tanah ini di kenal dengan nama Tolobali atau tanah yang dikembalikan.